Latest Post

Refleksi 21 Tahun hadirnya Fakultas Teknik Uncen di Papua

Logo Fakultas Teknik Uncen

Fakultas Teknik hadir dalam gema pengembangan Sumber daya manusia Papua dalam bidang keteknikan. Papua dengan berbagai Ketersediaan Potensi sumber daya alam melimpah kehadiran para insyinyur asal Papua menjadi korelasi yang relevan. Visi Fakultas teknik "Unggul dalam pembelajaran dan teknologi serta menjadi Mitra Masyarakat dalam pemabagunan di tahun 2030" adalah sebuah ikhtiar Fakultas secara kolektif, artinya adalah Fakultas teknik secara akademika mempersiapan, mengarahkan dan mendidik generasi Papua dalam menyambut Teknologi terbaru di era ini. Disamping itu bersama dengan masyarakat mengembangkan teknologi tepat guna untuk mendongkrak ekonomi kerakyatan yang sedang melaju di Papua.

Fakultas Teknik Uncen yang berusia belia ini hingga tahun 2022 telah mendirikan 5 jurusan yang diantaranya, Pertambangan, Teknik Sipil, Geologi dan Planologi, elektro dan Teknik Mesin. Kualitas kelima jurusan ini tentunya berbeda-beda bergantung pada kualitas dan mutu para Pengajar, Admistrator dan ketersediaan Fasilitas Teknologi penujang yang upgrade dengan Teknologi era 5.0. Konsentrasi dan Fokus dalam membenahi organ – organ ini sangatlah penting. Untuk itu, tentu dalam perkembangannya Fakultas Teknik telah melewati berbagai rintangan. Di depan masih menunggu tantangan yang lebih menantang demi mengejar visi Kampus Merdeka serta Nawacita ala Presiden Jolowi. Kekurangan dari berbagai aspek tentunya menjadi bahan refleksi kolektif dalam menyelesaikannya secara parsial sambil mempelajarinya.

Peran dalam Pengembangan dan Pembangunan Tanah Papua tentunnya menjadi tanggung jawab semua Orang Papua yang hidup diatas tanah ini. Fakultas dan Civitasnya juga mengambil peran disitu. Di usia ke 21 tahun kami berefleksi untuk itu.

Jika Fakultas Teknik Uncen adalah remaja belia, maka dia selayaknya berada di bangku perkuliahan yang butuh perbaikan dan revitalisasi dalam berbagai aspekt.

Jiwa Kemahasiswaan sesorang digodok disini. Idealnya, karakter mahasiswa yang baik adalah mereka memiliki konsistensi, tanggung jawab dan rasa ingin tahu yang tinggi. Kompentensi kampus menuntut setiap mahasiswa agar mampu menyelesaikan sejumlah SKS yang membawa mereka kepada sebuah Kelulusan. Setiap pundi - pundi SKS dikumpulkannya dari berbagai kegiatan formal maupun non formal yang diformal demi tercapainya target SKS yang ada. Itulah perjuangan dan dinamika hidup seorang Mahasiswa, yang adalah harapan bangsa dan negara, tidak ada karpet merah yang selalu diletakan di atas aspal ataupun beton, diatas tanah lapang kosong pun jadi untuk mencapai cita-cita yang diidam-idamkan.

Semoga di HUT Fakultas Teknik Uncen yang ke 21 tahun ini, kita, civitas Fakultas menjadi manusia yang memahami tugas dan tangungg jawab secara komprehensif. Tuhan memberkati kita semua.

 

Kelahiran mistik Degeumauukago

Pagi itu ,mentari begitu indah di ufuk timur. Suara burung-burung yang merdu membangunan tidur nyenyak para penduduk di sebuah dusun kecil, Kigiya, di pinggiran danau Tigi. Tigi merupakan suatu wilayah yang dikuasai dan didiami oleh suku mee yang memadati sepanjang pengunungan leher burung tanah Papua. Kompleks Kigiya yang rimbun & sejuk karena pohon-pohon yang menjulang tinggi yang ditanam oleh nenek moyng mereka memanjang sepanjang jalan dan menjadi batas-batas bidang tanah antara satu keluarga atau marga dengan yang lain. Satu persatu warga yang menempati Kewita/Emaa (rumah adat orang mee) bangun dari tidur dan memulai aktifitas juga rutinas mereka dengan Doa. Menurut pengalaman penulis yang tinggal di Kewita (Rumah adat perempuan) Doa pagi yang sering dilantungkan seorang ibu di dalam rumah itu dan berdurasi cukup lama dalam kekyusukkan.

Rumah adat yang dibuat dengan arsitektur tradisional mee ini ditempati oleh 2 (dua) orang ibu dan 4 (empat) orang anak. Kedua ibu, Lusia dan Yuliana ukago, keduanya ialah saudara kandung yang dinikahi oleh seorang pria, Degamoye ukago yang adalah kepala rumah tangganya. Lusia berprofesi sebagai seorang nelayan dan petani, yang hari-harinya lebih banyak dihabiskan di Danau dan Kebun. Sedangkan Ibu Yuliana agak berbeda dengan Lusia, dia seorang petani yang dari pagi hingga sore dihabiskan di Kebun. Sedang suaminya adalah seorang yang sederhana, penuh karisma dan pekerja keras yang cukup piwai dalam hal berburu dan berkebun.

Ilutrasi Bayi Perempuan, sumber :https://www.pinterest.de/pin/680254718709855261/

Anak-anak mereka adalah Thobias, Katarina dan Kaitanus yang merupakan anak dari ibu Yulina. Sedangkan Ibu Lusia hanya memiliki seorang anak Perempuan Marta. Kehidupan yang bergitu primitif menjadikan mereka keluarga yang selalu bekerja keras. Motto hidup mereka adalah „hidup untuk kerja dan kerja untuk hidup“.

Keluarga Degamoye adalah keluarga yang cukup demokratis, mereka memutuskan hal-hal yang essensial bersama, sehingga konflik dalam keluarga bisa diminimalisir frekuensinya. misalnya dalam hal membagi tugas mengurus kebun dan ternak. Dalam budaya suku mee, mengurus kebun dan ternak adalah pekerjaan bersama, oleh karena itu pekerjaannya harus dibagi rata kepada semua anggota keluarga.

Degamoye ukago, ayahanda dari Marta ialah sesorang yang hidup dengan multi talenta dan cukup sederhana dalam hidup. Sudah menjadi sebuah kebiasaan dalam tradisi hidup orang mee bahwa semua kaum muda laki-laki sejak masih belia, orang tua wajib mengasah softskill anak, misalnya membuat anak panah, membuat perahu, membuat pagar, berkebun, memabngun rumah, strategi perang dan berburu. Softskill lain yaitu memelihara ternak, misalnya babi hutan (yaa) ataupun ayam (bedoo).

Bagi anak muda dalam kehidupan tradisional suku mee berburu adalah sebuah talenta yang harus diasah. Dia harus diasah langsung dari hutan tempat di mana dia dapat mendemostrasikan kemampuannya, hutan yang jauh dari pemukiman warga dan di gunung yang cukup tinggi biasanya menjadi tempat cukup yang ideal untuk berlatih ketangkasan itu. Sebagaimana filosofi orang Mee tentang hutan, bahwa hutan adalah Ibu. Mereka sangat menghargai hutan, tanah dan air dan segala isinya. Bagi mereka alam dapat memberikan segala sesuatu yang mereka butuhkan. Untuk itu inisiasi dalam bentuk ritualpun tak pelak sering dibuat sebagai tanda terimaksih mereka kepada alam semesta.

Degamoye Ukago sudah sejak belianya membekali diri dengan berbagai kemampuan dan ketangkasan misalnya berburu, berkebun dan berternak. Dengan kemampuan-kemampuan yang dimilikinya itu, harapan orang tua Degemoye kala dia kecil adalah dia dapat menghidupi istri dan anaknya kelak. Kehidupannya yang cukup Makmur dan kesederhanaan keluarganya membuat dia cukup puas dengan pencapaian yang dia lewati dan capai.

Dalam budaya modern ketika seorang anak dilahirkan ke dunia dan menjadi anggota baru, maka sudah menjadi keharusan agar acara syukuran dibuat sebagai tanda ucapan syukur kepada sang Kreator ulung Alam Semesta, Tuhan/Allah Yang Maha Besar. Begitu pula juga dalam tradisi kehidupan orang Mee, inisiasi ucapan syukur itu disebut dengan duwapaga/yoka you. Duwapaga adalah istilah yang sering digunakan di daerah seputaran danau Tigi dan Paniai. Sedangkan Yoka youu adalah istilah/kutipan bahasa Mee dari acara syukuran kelahiran anak yang digunakan di wilayah Dogiyai.

Inisiasi ini juga yang sering dilakukan oleh keluarga Degamoye ketika anaknya lahir. Dalam kelahiran anak-anaknya, Degamoye oleh kedua istrinya selalu dilalui dengan peritiwa-peritiwa mistis.

Sebagai seorang pemburu kuskus (Woda), dia selalu berburu kuskus untuk dihidangkan dalam acara pengucapakan syukur anak-anaknya. Dalam hal ini Marta menjadi contohnya, betapa mistinya prosesi lahiran yang dialami oleh Lusia, Ibu dari Marta.

Dua hari sebelum Marta dilahirkan oleh ibunya Lusia, Degamoye bersiap untuk melakukan perjalanan kepegunungan Wikitai untuk berburu. Dia selalu solo/sendiri ketika berburu. Baginya berburu sendiri lebih menyenangkan, dibanding berjalan bersama kolleganya yang lain.

Sore itu, dia datang ke rumah perempuan (kewita) untuk meminta istrinya Lusia dan Yuliana mempersiapkan bekal untuk dimakan dalam perjalan kesana dan untuk seminggu di sana. Dia bercakap,

„selamat malam mama, mama besok saya mau ke wikitai untuk berburu, jadi tolong petatas/ubi (nota) dipersiapakan sesegera mungkin“ lanjutnya,

"esok pagi jam 05.00 saya akan datang ambil”

Lalu Lusia dan yuliana merespon,

“iya besok pagi ambil Bapa”

Benar seperti yang dikatanya itu, dia tidur lebih awal karena dia tahu bahwa besok dia harus melakukan perjalanan yang panjang melewati berbagai gunung dan bukit. Pagi itu dia bangun kira-kira jam 04.00 dan mempersiapakn diri untuk melakukan perjalanan. Anjing berburunya juga diikutsertakan dalam perjalannya kesana.

Pagi jam 05.00 dia tiba di depan pintu rumah kewita (rumah perempuan), dia menyahut sambai mengetok pintu,

’ took took,,,selamat pagi, Mama, mama”

tak satupun suara yang terdengar dari dalam kewita, dua menit berselang suara memantul keluar,

“Bapaa, iyoo sabar ee mama ambil noken dulu”

ternyata mama Yuliana sudah mengetahui apa yang dipinta oleh si Bapa, Ukago degamoye. Mama Yuliana membukakan pintu

”Bapa, ini ubinya, Noken ini untuk makan seminggu di sana dan yang masak ini untuk bekal perjalanan”.

Ternyata kedua istrinya mempersiakan bekal dalam dua noken yang berbeda.

Sudah menjadi tradisi dalam budaya suku mee, ketika kepala keluarga ingin meakukan perjalan jauh dalam rangka bisnis atapun kepentingan lain. Istrinya harus mempersiapkan bekal yang ada untuk digunakan dalam perjalannya.

perjalan hari itu dimulai tepat sesudah kedua noken yang berisi nota itu berada di tangannya. Perjalannya yang cukup melelahkan itu akhirnya berakhir sesudah satu hari satu malam perjalan hingga ke goa (bahasa mee: Biyoo) milik pribadinya sendiri. Dahulu kala Goa adalah tempat yang paling nyaman untuk meletakan kepala sesudah seharian memasang jerat dan melakukan aktivitas perburuan.

Dalam masyarakat mee, mereka percaya bahwa mereka yang sering melakukan pemburuan akan bersahabat dengan para penunggu-penunggu atau penduduk mistik yang hidup di area perburuan mereka, bahkan dengan makluk gaib yang menurut mereka adalah pemilik kuskus yang mendiami daerah itu. Jadi, keberuntungan mereka berburu juga terkadang tergantung dari seberapa kuat kedekatan mereka dengan para penunggu di area pemburuan yang mereka tempati.

Degamoye sendiri sudah begitu cukup dekat dengan Wodaniya (setan Kuskus), begitulah sebutan yang mereka sematkan bagi penunggu kuskus di hutan itu. Dalam proses pemburuan mereka sangat sering sekali berkomunikasi dengan Wodaniya tadi. Misalnya mereka sedang mamasang jerat kuskus, mereka akan disapa oleh si penunggu hutan itu dari arah yang tidak mereka tahu. Berikut ini adalah contoh kasus yang dialami oleh Degamoye ukago pada detik-detik kelahiran anaknya Marta yang dilahirkan di Kigiya-Diyai.

Pagi itu dia bangun pagi sekali dan mempersiapkan sarapan beserta bekal makan dalam aktivitas berburunya. Seusai sarapan pagi dia mulai melakukan aktifitas pemburuan kuskus dengan memasang berbagai jenis jerat di pohon maupun di permukaan tanah. Karena kuskus sering atau banyak ditemukan di pepohonan karena mereka adalah pemakan dedaunan dan biji-bijian. Ketika sedang asyik dengan memasang jerat, suara yang abstrak sumbernya tiba-tiba mencul dari arah yang tidak bisa diduga, suara ini manyahut katanya,

“Degamoyee,,, Degamoyee”

degamoye merespon ”yaa bagaimna ? kamu siapa “

suara misterius ini membalas

“saya yang selalu bersamamu dan datang ke rumahmu (maksudnya goa tempat dia menginap)”

Degamoye memang sering kedatangan tamu tak diundang yang tak terduka yang memang bisa dikatakan orang misterius. Tamu tersebut kehadirannya hanya sebatas suara. Tapi setiap kali dia datang berburu dan menginap di Goa, mereka sering bercakap-cakap layaknya tamu yang sudah sejak lama saling mengenal.

Tamu misterius itu berucap katanya „Dega waee anakmu hari ini lahir“.

Degamoye penasaran bertanya, “anak perempuana atau laki-laki”,

pertanyaan ketidaktahuan ini adalah pertanyaan bahagianya. Si misterius menjawab,

“anakmu yang lahir adalah anak Perempuan, jadi nanti b’ri dia nama untuknya DEGEUMAUUKAGO (bahasa mee :Si putih Ukago)”.

Tanya Degamoye kembali,

„mengapa nama itu harus diberikan kepada anak Perempuanku ?“ lalu Wodauniya menjawab„

karena anak perempuamu berkulit putih berseri“ katanya.

Degamoye menjawab „ baik, akan saya sematkan nama itu untuknya“.

Spontan suara tadi pun menghilang dalam lebatnya hutan pegunungan Wikitai. Sesudah bermalam tiga hari di sana hasil buruannya mencapai empat noken penuh.

Akhirnya ia memutuskan untuk membuat Bakar batu bagi satu noken agar dapat disantap langsung oleh istri dan anaknya sesampainya di rumah. Sedangkan tiga noken lainya dibawa pulang untuk dibuatkan Bakar Batu atau Barapen pada acara syukuran akan perempuan yang baru lahir.

Dia pun mulai bergegas di pagi hari dari Goa di pegunungan wikitai, akhirnya pada sore hari dia tiba di Kigiya, di rumahnya. Ketika dia menyampari rumah kewita dari jauh dia melihat asap rumah kewita meninggi. Penjalaan yang cukup Panjang, namun dia diselimuti kebahagiaan dan kegembiraan. Langkah kakinya pun menjanjaki pintu depan Kewita. Ketika di tengonya kedalam ternyata, sanak saudara dan keluarga lain sudah memenuhi rumah kewita. Mereka, ada yang datang dari jauh dengan membawa datang makanan dan pernak-pernik lain sebagai ungkapan rasa syukur atas lahirnya Marta kecil.

Capeknya Degamoye pun hilang seketika ketika melihat ada bayi kecil di samping mama Lusia, tanpa banyak bertanya dia berucap

“Adow ini siapa ini?”

sambil ´tertawa terbahak-bahak penuh gembira. Tantapanya tak sedikpun dia arahkan ketempat lain. Dia mengamati si mungil yang ada di tangannya dan memberi nama secara spontan katanya,

„sayang anaku DEGEMAU UKAGOUMAU selamat datang di keluarga kami“.

Lalu Mama lusia pun terkejut dengan nama itu, dan langsung bertanya ke Degamoye

“Bapa, siapa yang menginspirasi bapa untuk beri nama itu”.

Degamoye merespon pertanyaan itu katanya

“hari itu ketika Mama melahirkan si mungil ini saya diberitahukan nama itu oleh Wodaniya”.

Mama Lusia pun tersenyum karena, kejadian itu bukan terjadi untuk yang pertama kali. Kejadian yang sama juga sudah pernah terjadi sebelumnya, pada kelahiran dari saudara-saudari kandung Marta yang lain.

Kebahagian merekan pun mereka rayakan dengan membua acara syukuran dengan Kuskus, hasil buruan yang dibawakan oleh Degamoye.

Walaupun Degamoye yang adalah sesorang yang hidupnya penuh keterikatan dengan alam atau punya kedektan dengan dunia mistik, dia selalu memberi masukan kepada istrinya untuk anakya harus diberkati oleh Pastor Katolik setempat dan dipermandikan secara katolik. Ini dikarenakan. Pengaruh belanda melalu para misionaris ketika itu sudah merambah hingga daerah Meewoodide atau yang pada zaman belanda di sebut dengan daerah keresidenan Enarotali, di mana di Diyai sejak 20an tahunan telah didirikan sebuah gereja katolik permanen yang di namai Paroki segala orang kudus Diyai.

Keesokan pagi Mama lusia begerak ke Pastoran Diyai di bukit bitang Pagoya untuk mendapat berkat dari Pastor setempat dan memberi tahu bahwa pada hari minggu mendatang si mungil harus dipermandikan dalam tradisi gereja Katolik Roma.

Sesampainya di pastoran mama Lusia langsung bertemu dengan Pastor Tom Tetero, seorang misionaris OFM dari belanda yang telah tiba di papua dan memulai karya pelayanannya sejak 1939 di Papua. Dia menerima Mama Lusia dan si Mungil. Dia bertanya maksud dan tujuan kedatangan mereka dalam bahasa daerah mee

„mama Lusia selamat siang, bagaimana ada yang saya bisa bantu k?“ tandasnya.

“ benar pastor saya datang ini mau minta berkat buat saya punya anak perempuan ini, dan sekaligus mau tanya kapan anak ini bisa dipermandikan?” jawabanya.

Lalu pastor mengatakan pastor Tom merespon

“ Lalu mama sudah kasih nama dia k belum ?” tanya pastor ke Mama lusia agar Namanya disebutkan dalam doa berkatnya.

Mama Lusia menjawab “ belum Pastor”. Kemudian pastor meminta mama Lusia “kalau begitu kita carikan namnya dulu ya ?”.

Pastor Tom berpikir sejenak mengusulkan untuk memberi Nama Marta

„Mama waee saya kasih nama Marta boleh k ?“

karena Mama Lusia tidak begitu familiar dengan nama-nama Modern yang ada dalam tradisi Katolik, Mama Lusia mengiyakan nama itu katanya

“baik Pastor”.

Lalu pastor memulai inisiasi pemberkatan dengan nama yang sudah disetujui oleh Pastor dan Mama Lusia.

“oke Mama mari saya berkat dia dulu” lanjut si pastor

“ atas nama Bapa dan putra dan Rohkudus, Tuhan terimakasih karena engkau telah menghadirkan Marta kedalam keluarga Lusia dan Degamoye untuk dijaga dan dididik. Tuhan bantu dia dalam perkembangan dan pertumbungan kedepan. Agar semua yang dibuatnya menjadi kesenangamu. Dan berikan rahmat kesabaran dan kekuatan kepada kedua orang tua yang engkau percayakan untuk membesarkan anak ini amin“ .

lalu hining sejenak dan Pastor Tom melanjutkan „ Marta, Aku membabtis kamu dalam nama Bapa dan Putra dan Rohkudus amin“.

Diakhiri dengan tanda salib dan prosesi dan doa pemberkatan anak ini pun diusaikan di situ.

Sebagai Derma/Persembahan kala itu uang tidak sebanyak sekarang, orang hanya mempersembahkan makan yang didapatkan dari hasil kebun. Jadi Mama Lusia juga membawa serta Kuskus serta hasil kebun sebagai persembahan kepada Tuhan yang telah menerima Marta, si mungil ini sebagai anggota kerajaan Allah. Persembahan ini diberikan kepada Pastor Tom.

Marta kecil kemudian pada hari minggu berikut d berkati dan dipermandikan oleh Pastor Tom dan resmi menjadi anggota Gereja Katolik.

>>>Cerita ini diangkat dari Cerita harian Ibu<<<

~~~§ Selesai §~~~

 

Marta kecil dan tamu tak diundang di Goa Gunung Wikitai

Siapa yang tidak tahu penuh misterinya alam Papua. Hutan dan alam yang mistis sering sekali digambarkan dan diceritakan dalam buku harian oleh banyak pendaki gunung yang melalang buana di daerah pegunungan Papua yang datang dari berbagai tempat di belahan bumi yang lain. Sudah menjadi hal yang lumrah bahwa papua merupakan salah satu daerah yang cukup sulit untuk dijangkau, dibanding daerah lain di Indonesia. Akses udara kadang menjadi satu-satunya andalan untuk melakukan perjalan dari satu daerah ke daerah yang lain. Kontur wilayah Papua yang penuh dengan perbukitan nan tinggi menjadikan alam Papua penuh eksotik. Rata-rata tantangan di atas banyak dihadapi jika orang mengunjungi daerah-daerah di bagian pegunungan Papua atau wilayah adat Meepago dan Lapago yang terisolir.

Kesulitan yang sama juga juga seringkali dihadapi oleh para pemburu muda atau amatiran yang berburu di hutan dan pegunungan Papua. Hutan bagikan selimut hijau yang memajang sepanjang pegunungan menjadi tempat hidup berbagai marga satwa liar. Hewan-hewan liar ini biasanya menjadi incaran para pemburu lokal. Masyarakat lokal di daerah pegunungan berburu kuskus dan babi hutan. Ini mereka jadikan hidangan buruan paling lezat dan bisa disimpan dalam waktu lama, dengan proses pengawetan makanan ala tradisional yang sejak lama telah diturun-temurunkan oleh nenek moyang mereka.

Ilustrasi Sumber Dok : https://www.newmandala.org/hope-west-papuan-refugees-png/

Orang dari sukunya Marta, orang Mee, percaya bahwa kehidupan di dalam alam mistik yang terkandung dalam tanah hutan dan udara hidup berdampingan dengan Manusia. Kehidupan yang harmonis ini dahulu kala terjadi secara nyata. Untuk menjaga konsistensi dari relasi hidup dalam dua atau lebih dimensi alam yang berbeda itu tak pelak sangat sering dilakukan ritual adat yang dilangsung secara rahasia maupun terbuka. Acara-acara atau ritusalnya dipimpin oleh beberapa orang yang dituakan atau mereka yang memiliki kemampun supra natural yang hidup dan sering melakukan hubungan komunikasi intermedium dengan para makluk metafisis tersebut.

Dan bahkan di daerah-daerah tertentu itu masih terjadi hingga zaman modern ini. Dalam kondisi seperti itu agak sukar kita katakan bahwa daerah ini masih hidup dalam alam primitif karena di kota-kota besar di Benua Biru, begitu juga di negri Paman Sam sekalipun praktik-praktik semi metafisis atau berkomunikasi dengan alam gaib tersebut masih terus terjadi. Di samping itu kehidupan Masyarakat Papua dan Masyarakat Modern sama-sama menikmati kehidupan keagamaan yang sama. Namun di titik tertentu di dalam kehidupan sosial budaya masyarakat tertentu relasi hidup kehidupan mistik dan manusia pun masih berlangsung. Beberapa individu tidak punya kekuatan supranatural namun dalam kehidupan sehari-hari mereka mendapati diri mereka bertemu sosok yang penuh misterius.

Marta pun pernah mengalami hal mistik yang sama, waktu bersama ayahnya, Degamoye ketika tinggal di sebuah Goa dengan sebuah pondok yang telah dibangun didalamnnya di gunung Wikitai dalam rangka mencari Woda.

sudah menjadi kebiasaan degamoye dan bahkan semua laki-kali yang berburu Woda untuk mempersiapkan bekal dan aparatus lain yang nantinya digunakan selama mereka tinggal di pegunungan, tempat dimana mereka akan melakukan perburuan. Degamoye sering mempersiapkan persiapan berburu sendiri tanpa dibantu oleh orang lain. Yang artinya tidak dibantu oleh istri dan anaknya. Dia juga seorang pemburu ulung yang melakukan aktivitas pemburu sendirian dan tidak pernah berjalan bersama dengan sodara yang lain dari kampungnya. Memang sudah dari sejak mudahnya dia menjadi pria yang mandiri dalam mencari uang/kebutuhannya sendiri dan memgupayakan kecukupan makan minum untuk dirinya sendiri. Kemandiriannya itu pun berlanjut ketika dia sudah menikah dan berkeluarga. Degamoye yang mempunyai karakter pendiam dan pekerja keras memang cukup piawa dalam memburu kuskus.

Dalam banyak pengalamanya berburu kuskus, pertemuanya dengan pri/penunggu (abe dan tameyai) di gunung-gunung dan berbicara dengan penunggu gunung ,juga setan Woda (Wodaniya) sudah menjadi hal yang lumrah alias sudah sangat sering dia lakukan. Oleh karena itu secara tidak langsung alam sudah bersatu dengan dirinya. Atau dengan kata lain daerah berburuan dan hewan buruannya sudah dia menjiwainya. Yang menjadi soal adalah ketika dia berjalan dengan orang lain. Hal ini akan sangat merepotkannya, karena dalam melalang buana dalam alam dan gunung wikitai yang misterius itu, mungkin alam itu cukup Familiar bagianya,namuns sebaliknya buta Alam menjadi lebih liar jika dia bersama orang lain. Misalnya ketika marta mengikutinya berburu ke Wikitai. Ceritanya sebagai berikut:

Seperti biasa, kicauan burung-burung pipit membangunkan Marta dan keluarga. Lusia dan Yulia memulai dengan kebiasaanya mereka yaitu berdoa. Doa yang mereka lantunkan seperti biasa memakan waktu yang cukup lama, kurang lebih satu jam. Si Marta pun juga selalu larut dalam kebiasan doa bersama mereka itu di kewita(bahasa mee: rumah adat perempuan). Doa mereka akan berakhir dengan Doa Salam Maria dan tBapa kami sebagaimana sesuai dengan ajaran dan ritus Gereja Katolik Roma.

Jam bergerek trus menuju jam 06.00 WIT. Lusia, Yuliana dan Marta mulai dengan kegiatan berikut yaitu masak Petatas dan sarapan lain untuk menjadi santapan pagi dan bekal dalam aktitifas harian mereka. Kira-kira jam 06.30 suara tamu memanggil dari depan pintu rumah

„ selamat pagi“ saut seseorang dari luar.

Mereka diam menunggu orang ini masuk ternyata Degamoye.

Lusia menjawab „ iya pagi juga Bapa, baru Bapa sudah sudah makan k belum ?“.

Degamoye menjawab „ belum, ada Nota k ?“ lusia mengajak makan pagi bersama „ada nota ini“.

Mereka pun makan pagi Bersama. Tak berselan lama suara seorang anak-perempuan berbunyi

“ selamat pagi , Marta !“ saut seseorang dari luar,

Marta menjawab „ ya pagi, Ester”

marta tahu suara itu adalah si Ester, taman sebayanya yang juga teman sekolahnya di SD YPPK St. Teresia Diyai. Sekolah dasar ini milik Yayasan Gereja Katolik yang sudah didirikan sejak lama di Diyai. Ester juga termasuk salah seorang saudari sepupunya Marta yang cukup dekat dengannya. Ester ini adalah anak dari Angela, seorang anak perempuan dari istri pertamanya Bapa dari Yuliana dan Lusia. Istri keduanya adalah pekamadi yang adalah ibu dari Yuliana dan Lusia. Setelah Marta bersiap sedikit, Marta dan Erster bergegas ke Sekolah. Sesaat sebelum berangkat ke skolah Degomeye sontak memanggil Marta dari dalam Kewita

„Marta Marta, sebentar nanti tolong bantu Bapa di kebun, di bawah, dekat Dadekogopa“.

„siap Bapa“ jawab Marta sambil berjalan pelan di depan Rumah.

Marta dan Erster perlahan-lahan berjalan ke sekolah, tidak lama kemudian mereka pun tiba di sekolah. Seperti biasa mereka mengikuti apel pagi dengan baik dan rapi lalu masuk ke kelas. Kebetulan Ester dan Marta bersekolah di sekolah Dasar yang sama, di DS YPPK St. Theresia Diyai. Mereka berdua ketika itu berada di kelas 3 bersama ,Fransiska Pekei, Pak Guru Matias Douw (alm.) dan teman-teman mereka yang lainnya. Matias Douw (alm.) kelak menjadi guru kelas dan kepala sekolah di SD ini juga.

Setelah proses belajar mengajar usai jam 11.00 siang, ingatan Marta masih mengarah pada pesan Ayahnya, Degamoye, untuk datang ke Dadekogopa untuk membantu ayahnya yang mengerjakan kebun disana. Ester dan Marta pulang bersama ke rumah, sebagaimana biasanya Ester pulang kerumah dan Marta menuju ke Kebun. Perlahan-lahan Marta berjalan ke Dadekogopa. Kebun Mereka di Dadekokogo jaraknya tidak terlalu jauh dari rumah mereka dan jalan besar, kurang lebih setengah kilometer. Dari kejauhan Degamoye sudah mulai terlihat di mata si Marta. Melihat Marta, Degamoye menyuruhnya,

„ marta sudah datang ee, bisa bantu bapa cari Nota dulu k, sebentar kita akan lakukan perjalan jauh ?“.

Marta pun bertanya kembali „kemana Bapa ?“ dengan penuh keingintahuan.

Degamoye menjawab „ke Wikitai, untuk cari Woda“.

langsung Marta bergerak cepat untuk mengali Nota dan kemudian segera membersihkan hasil galiannya itu. Tak lama berselang tepat jam 01.00 siang Degamoye melempar pertanyaan ke marta katanya,

“Marta ubi sudah digali dan dicuci k ?” ,

Marta pun menjawab „sudah Bapa “.

Degamoye melihat matahari sudah menuju ke barat. Dia bersaut katanya,

„oke kita jalan sudah“.

Marta perlahan-lahan mengangkat satu noken yang berisi Nota. Dengan pelan dan penuh semangat melangkah dari Dadekogopa. Sessunggunya Marta sangat senang karena kala itu, perjalanan itu adalah pengalaman pertamanya berburu bersama ayahnya, Degamoye, ke Wikitai. Selama ini dia mendengar cerita mengenai Wikitai dari Bapanya. Sepanjang penjalan dia sangat senang karena bisa berpetualangan di tempat yang jauh dari rumah dan dapat melihat secara langsung tempat yang Degamoye sering kunjungi dan juga tempat dia meletakan kepalanya di malam hari.

Dalam perjalanan Degamoye berjalan dengan pengaturan ritme nafas yang biasa. Sedang Marta berjalan dengan penuh semangat, rauk wajahnya sama sekali tidak menujuhkan rasa capek. Perjalan yang mereka penuh bukit-bukit dan melewati gunung-gunung dan jurang-jurang terjal pun berakhir pada sore hari jam 18.00.

Dikarenakan perjalanan yang panjang, kecapean pun memuncak seketika. Mereka memutuskan untuk sejeka beristrahat 30 menit menghilangkan penat. Sesudah beristrahat Degamoye meminta Marta untuk tinggal di situ.

„Dega (Anak perempuan) tunggu Bapa di sini ya, Bapa mau pergi cari alang-alang untuk buat rumah kecil (red pondok) di sini”.

Martapun yang umurnya 10 tahun kala itu hanya mengangguk mengangguk meniyakan pintaan Bapanya itu. Selang malam jam 15 menit kemudian Bapanya kembali. Degamoye tidak begitu lama keluar karena dia tahu betul kondisi hutan yang begitu misteri dan penuh dengan bahaya itu. Dengan alang-alang yang diambilnya itu, dia membuat mereka tempat bermalam di situ untuk satu minggu ke depan.

Setelah menyelesaikan pembuatan Pondok hunian selama seminggu mereka. Degamo dan si Marta memulai menyalakan api untuk memasak hidangan makan malam mereka. Marta pun mulai bertanya ke ayahnya apa saja hal-hal misterius yang sering terjadi. Pertanyaan yang sangat ingin dia tanyakan adalah sebagaimana pertanyaan anak-anak pada umumnya jika berjalan ditempat yang jauh dari keramaian katanya,

„Bapa disini ada Setan k ?“.

Bapanya pun menjawab pertanyaan itu dengan tidak bermaksud untuk menakut-nakuti katanya „Di sini memang ada, tapi jangan takut, sejauh ini di Goa ini aman-aman saja“.

Dengan begitu hatinya Marta cukup legah. Tidak terasa percakapan mereka berjalan begitu lama , sampai-sampai waktu menujukan jauh malam, Marta dan Ayahnya terlelap dalam tidur malam mereka.

Pagi pun tiba, sebagai mana biasa berbagai jenis burung dan satwa liar berkicau dan mengaung dengan ritmenya masing dan khas itu. Mereka memberi simbol kepada alam dan manusia yang mendiami daerah itu bahwa pagi sudah merekah dan aktifitas harus dimulai. Degamoye juga ikut terbagun dan mempersiapakn sarapan pagi untuk mereka berdua. Tak lama kemudian dia meminta dengan sangat agar Marta tinggal dirumah atau pondok mereka yang telah mereka buat di dalam Goa itu saja. Dia juga dengan keras menekankan untuk tidak bemain jauh dari situ atau bila perlu tidak keluar dari sana, hingga Degamoye kembali dari aktifitas berburu.

Degamoye sejak keluar dari Goa mulai melakukan aktifitasnya memasang jerat diatas pohon dan di atas tanah. Jerat yang dibuat dan dipasang itu dikhususkan untuk buruan primadona para pemburu Mee yaitu Kuskus. Sebenarnya dihutan Wikitai sendiri dihuni oleh berbagai jenis kuskus. Namun untuk menggait Kuskus dengan jerat memang sebuah persoalan yang rumit dan butuh keahlian khusus. Degamoye sudah terbiasa dengan itu karena talenta soal memburu kuskus sudah menjadi makanan sehari-hari buatnya sejak muda.

Sesudah hari menjelang sore Degamoye pun beranjak dari hutan menuju kerumah dengan hasil jeratan, dua ekor Kuskus hutan. Sesampainya di rumah Marta sudah menunggunya di sana. Kira-kira pukul 18.00 sore Degamoye muncul di rumah. Mereka akan pun mulai masak makan malam. Tidak banyak hal yang mereka percakapkan. Dan ketika malam menjemput kedunya pun larut dalam tidur mereka masing-masing.

Hari ke dua pun tiba, seperti biasa Degamoye seusai menyelesaikan ritual pagi mereka, dia bersiap menuju lokasi pemburuan yang telah dia pasang sebelumnya. Ketika sampai di sana dia hanya mendapat dua ekor lagi kuskus yang terjebak dalam jerat yang telah dia pasang di hari sebelumnya. Hari sudah menuju sore, walau nasibnya hari itu kurang baik seperti hari-hari sebelumnya dia pun tetap keasikan melanjutkan aktifitas pemasangan jerat di berbagai tempat di dalam lebatnya hutan Pegunungan Wikitai.

Tiba-tiba sore jam 15.00 pun hujan turun, dia mendengar Guntur dan deruh hujan merintik. Karena hutan yang begitu lebat maka hujan yang rintik-rintik ini terdengar lebih besar suaranya. Di tengah suara itu dia mendengar ada suara yang besar yang datang dari arah tempat tinggalnya, kekuatirannya memuncak. Pikirannya pun terguncang dan fokusnya segera saja spontan mengarah ke anak perempuanya yang dia tinggalkan di Goa itu. dia meninggalkan semua yang sedang dia lakukan dan berjalan dengan langkah cepat menuju ke Goa. Dalam perjalannya gejolak konflik dalam perasaannya pun mengunjang jiwanya, apa yang terjadi dengan Marta di Goa. Dia berusah menahan diri dan mengarahkan diri pada perasaan dan pemikiran yang positif. Akhinya dia tiba pada jam 17.00 sore. Ketika masuk, dia mendapati marta sedang berada diluar gubuk yang mereka bangun. Dan dia bertanya,

„Marta kamu sedang cari apa ?“. marta pun menjawab

„Bapa saya ada cari perempuan cantik yang barusan keluar dari gubuk, tadi kami berdua duduk lama di gubuk tapi dia tiba-tiba menghilang jadi“.

Degamoye pusing tujuh keliling, dia berbicara dalam hati,

„ini siapa yang datang ini ?”.

Karena penasaran dengan sosok tamu yang tak diundang tersebut degamoye pun bertanya,

“ itu siapa yang datang tadi ?“.

Karena Marta melihat Degamoye sakin serius ingin tahu siapa sosok itu, marta mulai mencerikan apa yang terjadi denganya ketika Degamoye lagi asyik memasang jerat. Degamoye pun duduk dan Marta mulai bercerita.

Dia bercerita bahwa, dia pagi itu lagi duduk di pondok mereka dalam Goa. Sejak pagi hari daerah itu sudah mulai diguyur hujan dibarengi guntur dan kilat. Sesekali guntur dan kilat membela langit dan awan hitam menutup daerah itu. jadi Marta hanya tinggal diam di dalam rumah sambil mempersiapkan makan malam mereka. Waktu menunjukan jam 15.00 sore kilat dan guntur mulai mengemuruh keras, seakan ingin merobohkan pondok yang mereka bangun dalam goa. Pintu pondok mereka yang mereka buat pun dibiarkan terbuka. Selang beberapa menit setelah kejadian itu secara tiba-tiba kilat muncul di depan muka pintu dan seorang perempuan cantik jelita pun muncul di depan pintu pondok mereka. Marta melihat perawakan perempuan cantik itu dengan seksama. Perempuan cantik itu terlihat berambut Panjang dan berkulit putih berseri tapi dengan memakai rumbai-rumbai/cawat (Bahasa Mee : Moge), Dilehernya tergantung sebuah noken kecil yang telihat berisi sesuatu. Ketika si perempuan bercawat itu masuk ke pondok kecul itu Katanya,

“Selamat Sore Oge !”.

Perempuan itu masuk ke pondok rumah mereka seakan mereka sudah lama saling mengenal, itu terlihat dari sapan yang lembut dan terdengar khas. tanpa rasa ragu dan takut Marta pun menjawab katanya,

„ Sore juga!“.

Dalam pemikiran Marta waktu itu adalah dia ini perempuan yang tinggal di daerah itu. Perempuan Misterius itu memulai percapakan dengan bertanya Marta,

„Oge kamu lagi buat apa ?“.

Marta dengan santai menjawab, dia sedang masak Nota. Bahkan Marta tanpa basa-basi menawarkan Nota ke Tamu Misterius itu katanya,

„Nota ada jadi kalau mau makan silahkan diambil saja, jangan sungkan!“.

Namun tamu perempuan ini menolaknya dengan mengatakan,

„saya juga ada bawa Nota banyak dari rumah”

sambil menujukan isi Noken kecil putih kecil yang tergantung di lehernya. Lalu pembicaran mereka pun berlanjut dengan berbagai topik, namun perempuan bernoken kecil itu bicara lebih banyak mengenai pengalaman dan hal-hal yang lain. Sedangkan marta hanya mendengarkanya dengan seksama.

Pembicaraan mereka pun berjalan alot dalam gerimisnya hujan dan guntur disertai kilat di seantoro pegunungan Wikitai. Ketika hari sudah menjadi agak gelap kira-jam 17.00 waktu Wikitai tiba-tiba guntur dan hujan mengemuruh lebih kencan. Dalam pembicaraan yang mereka dan kilat itu si Tamu tak diundang itu pun menghilang dalam kilat dan guntur itu. Marta terkejut dengan kejadian itu. Marta berusaha mengapainya dengan keluar mencarinya diluar, dengan harapnnya dia menemukan perempuan itu di luar gubuk mereka. Bukanya menemukan Perempuan itu, Marta bertemu Degamoye yang tiba dengan penuh kecemasan. Ternyata firasatnya dan suara yang aneh tadi berasal dari si Wanita nan jelita itu yang juga menutun dia pulang ke Goa.

Pembicaran mereka pun terdengar oleh telinga Degamoye yang kebetulan waktu itu sedang berada tidak jauh dari Goa mereka itu. Perasaan dan hatinya risau dengan apa yang dia dengar. Dia sangat mengekwatirkan anak perempuannya Marta. Karena dia sangat tahu benar mengenai daerah itu, bahwa tak seorang pun yany berdominisili di daerah itu, karena daerah itu berada didalam hutan yang sangat dalam dan kehidupannya di dalamnya yang sangat buas memebri kepastian kepadanya bahwa tidak mungkin ada orang yang tinggal di situ.

Akhirnya dia memutuskan untuk pulang lebih cepat dan mengikuti suara misterius yang terdengar di telinganya itu. lambat-lambat laaun suara itu benar-benar datang dari arah goanya, dimana anak perempuanya, Marta menunggunya. Langkah kaki yang tadi berjalan dengan kecepatan normal, kali ini di berjalan sambil berlali kecil. Namun ketika dia sampai di rumah dia hanya menemukan Marta sendiri sedang duduk dalam pondok kecil itu. lalu ayahnya menayakan apa yang terjadi denganya, karena dia sebelumnya mendengarkan suara yang cukup mengaung yang sumbernya tidak lain dari goa yang mereka tempati sementara itu.

„kamu baik-baik saja Marta“ sambil mengambil nafas secara pelahan untuk menghilangkan rasa kwatirnya dan capeh.

Marta mencertiakana apa saja yang terjadi apa saja yang terjadi selama dia di rumah.

Sang ayah terkagum-kagum tapi juga sekaligus rasa takut dengan cerita yang dicerikan oleh si Marta anaknya. Karena menurut cerita dan pengalaman, bahwa jika Pri gunung seperti itu datang dan bertamu di tengah hutan seperti itu dan dalam percakapan seorang pemburu mengambil ataupun memakan makan yang dibawanya maka secara otomatis orang tersebut terinisiasi menjadi bagian dari si pemilik makanan itu. Sehabis cerita panjang lebarnya Marta, dia memutuskan untuk pulang lebih awal ke Diyai. Ini ditakutkannya karena ia berkeyakinan bahwa mereka bisa saja datang sewaktu-waktu untuk membawa Marta dan dijadikan calon pengantin wanita dalam dunia mereka.

Akhirnya pagi-pagi benar, Marta dan Degamoye melakukan perjalannya kembali ke Diyai. Dalam formasi perjalan mereka pun Marta didahulukan dalam perjalana mereka oleh ayahnya. Karena mengkwatirkannya bahwa Marta bisa saja diculik jika marta berjalan di belakang Degamoye.

Sesudah beberapa minggu Ibunya Marta Lusia mengetahui cerita tersebut dari Marta. Dan dan bertanya kebenaran cerita tersebut kepada Degamoye. Dan Degamoye tak dapat menyembunyikan cerita itu dari mereka dan mau tidak mau dia harus meniyakan apa yang terjadi tersebut, walaupun dia tahu dia akan dimarahi oleh Lusia dan Yuliana, kedua Istrinya itu. Benar, serperti yang dia pikirkan. Dia dimarahi dan ditegur oleh keduanya agar tak lagi membawa marta ke hutan Wikitai. Yang akhirnya diamini Degamoye. Dalam pemburuan-pemburuan selanjutnya, dia tidak lagi membawa orang lain dalam perjalan berburunya di Pegunungan Wikitai.

>>>Ceritanya diangkat dari cerita harian Ibu <<<

~~~§ Selesai §~~~

 

Konsep alternatif dalam optimlisasi Mahasiswa Lulusan LN di Papua



(Zittau 29/05/2019) Pemberian Beasiswa Program 1000 Ph.D yang dicanangkan oleh Pemprov Papua yang sekarang dikelolah oleh Biro Otsus Papua dimulai pada tahun 2009 yang diprakarsai oleh Gubernur Barnabas Suebu sudah mulai menghasilkan buah. Di tahun itu angkatan pertama diseleksi dan dipersiapan pengetahuan sains dasarnya di jakarta di bawah naungan Prof. Yohanes Surya Ph.D. Disana para penerima beasiswa ini menimbah ilmu dibawah naungan Surya Institute yang dikemudian hari berubah nama menjadi Surya University. Para calon mahasiswa ini setelah menyelesaikan Ujian Nasionalnya ditingkat SMA, mereka sesudah melalui berbagai test akan dikirim ke berbagai Negara dan tersebar luar di empat benua, Eropa, Amerika, Australia dan Asia timur.

Program ini berlanjut hingga sekarang dan setiap tahunnya menghasill banyak sekali insinyur muda Papua yang bekerja di berbagai Negara dan Institut penelitian di negara-negara barat. Bahkan sebagian menerima tawaran untuk bekerja di berbagai perusahan-persahan yang beroperasi didalam Negeri dan ditempatkan diberbagai Posisi.
Sejak Program ini dijalankan, banyak hambatan dan tantangan yang didapat oleh pemberi dan penerima beasiswa. Dari sisi pemberi Beasiswa, menurut pejabat berwenang yang baru terpilih, bahwa selama ini program ini berjalan secara amburadul karena road mapnya tidak gamblang. Sebagai conton dia memaparkan antara lain bahwa daftar penerima beasiswa yang belum teratur dan belum mempunyai manajement kontrol yang baik terhadap kondisi perkembangan studi para penerima Beasiswa tersebut. Untuk itu tambahnya, pihaknya selama ini mencoba untuk memperbaiki hal-hal signifikan tersebut melalui pendekatan-pendakatan yang terbentuk dari beberapa terobosan-terobosan dalam manajemen pengelolaan beasiswa ini.

Dalam beberapa tahun terakhir banyak kunjungan  juga yang dilakukan oleh pihak pemberi beasiswa dalam rangka kontrolling kondisi mahasiwa di berbagai negara. dalam Audiensi dan diskusi yang dibuka dalam kunjungan-kunjungan itu, banyak mahasiswa yang juga menanyakan perihal apa yang akan dilakukan pemerintah Provinsi papua sebagai pemberi beasiswa dalam mempersiapkan para lulusan LN ini ketika kembali ke tanah air. Pertanyaan ini menjadi penting karena menurut mereka, dengan ilmu dalam bidang yang telah mereka resapi teorinya, mereka ingin berusaha membantu pemerintah dan masyarakat Papua dalam mengembangkan sektor-sektor potensial yang ada di Papua.

Didalam Audiensi-Audiensi yang sama ada beberapa mahasiswa yang memberi masukan-masukan dalam menyikapai kepulangan Mahasiswa Papua lulusan LN sebagai konsep alternatif dalam meminimalisir pengganguran jangka panjang yang diantara sebagai berikut.

1. Pemerintah Provinsi Papua dengan kapasitasnya sebagai pemberi beasiswa paling tidak dapat menyiapkan tempat untuk para insinyur muda ini, dengan jalan membuka sebuah pusat Ilmu pengetahuan alam multi disiplin yang dimotori oleh berbagai peneliti senior LN. Melalui Lemabaga ini mahasiswa/i Papua yang masuk dalam kualifikasi yang sudah ditentukan dijadikan asisten-asisten dalam berbagai proyek penelitian yang dicangkan.

2. Memberi para lulusan Luar Negeri ini peluang untuk menimbah ilmu pada setiap proyek-proyek pemerintah dengan menjadikan mereka sebagai asisten-asisten pengawas dari SKPD terkait dalam perkembangan proyek tersebut. Dengan harapan pada proyek pemerintah selanjutnya mereka bila perlu dijadikan eksekutor dalam proyek-proyek tersebut.

3. Pemerintah mendirikan berbagai sekolah Vokasi dalam berbagai bidang dengan tujuan lulusan dari sekolah vokasi menerima lisensi untuk dipekerjakan dalam berbagai bidang. Misalnya pertanian, perikanan, perkebunan atau listrik. Disini para lulusan LN ini dijadikan sebagai Asisten Pengajar didalamnya.

4. Mendirikan BUMD dalam berbagai sektor basis yang didalam mengakomondasi kebutuhan dasar masyarakat Papua. Dalam perekrutannya karyawan, para lulusan LN ini mempunyai kesempatan untuk bekerja disana. Dengan begitu pengalaman mereka dalam berinovasi teknologi makin baik dan dengan pengalaman ini peluang mereka untuk berwiraswasta makin luas.

Empat hal diatas ini harapannya bisa menjadi solusi altenatif dalam optimalisasi SDM Papua kedepan. dengan begitu tuntuntan Pemerintah Provinsi Papua yang memberi harapan besar kepada para penerima lulusan luar negeri untuk dapat bekerja di perusahan ternama di dalam dan maupun diluar negeri dapat terjawab.
Harus juga dimengerti bahwa dalam melamar kerja, pengalaman selalu menjadi nilai tambah dalam lamaran (CV) yang dikirimkan perusahan-perusahan. Oleh karena itu dalam hal ini baik itu penerima maupaun pemberi beasiswa juga harus rasional dalam berpikir dan bermimpi kedepan. (Gusti)


 

West Papua, vergessene Konflikte

Herzlich willkommen auf arte zu einer neuen Ausgabe von mit OFFENEN KARTEN

Was wissen Sie über die Papua?


Benny Wenda und Kampagne Free West Papua in London


Auf diesem Foto sehen Sie aus West-Neuguinea, die ihre Unabhängigkeit fordern. Zu erkennen ist, dass der Flagge der Separatisten, die seit 1963 unter der Fluchte Indonesiens leben. Das gilt nicht für das benachbarten Papua Neuguniea, dass ein unabhängiger Staat ist. Bekannt sind die Papua für ihre traditionelle Bekleidung und ihrem Kampf gegen die Vernichtung des Urwaldes weniger bekannt ist der Papua aus West Neuguniea. Si lehnen sich seit über 50 Jahren so gut, sie können gegen den militärischen, wirtschaftlichen und kulturellen Einfluss der indonesischen Staatmacht auf. Ein Bericht aus einem zerrissenen Land. Das zwischen Asien und Australien liegende West Neuguinea gehört zum Neuguinea, der nach Grünland zweitgrößten Insel der Erde. Sie ist mit 800.000 km2 mehr als doppelt so groß wie Deutschland und durch den 141 Längengrad in zwei Teile geteilt. Den östlichen Teil nimmt Papua Neuguniea ein, dass seine Unabhängigkeit von Australien 1975 erlangte. Der westliche Teil gehört wie gesagt seit 1963 zu Indonesien. Mit 10 Einwohner pro km2 hat die West Neuguniea die gerieste Bevölkerungsdichte des Landes. Auf 420.000 km2 leben 4 Millionen Menschen. Damit leben dort 1,7 % der indonesischen Bevölkerung auf einem Viertel des Staatgebietes und die Region verfügt überreiche Vorkommen an Holz, denn die Insel ist von dichtem Regenwald bedeckt, Ein Arzte vor allem an Kupfer, Gold, Silber und Nickel sowie an Erdöl und Erdgas in den Küstengebieten. Die Papua, was auf Malaiisch so viel kraus haarig bedeutet, wanderten vor 40.000 Jahren   aus Südostasien und Australien ein. Sie bilden hunderte von ethnischen Gruppen mit über 1000 Sprachen und an der Küste ließen sich vor etwa 3000 Jahren austronesischen Volksgruppen aus dem heutigen Taiwan nieder. In 17. Jahrhundert geriet die Insel unter die Kontrolle der niederländischen Ost Indien Kompanie. 1858 wurde sie zwischen deutschen Reich Großbritannien und den Niederlanden aufgeteilt, kolonialisiert und christianisiert. 1949 wurde Indonesien unabhängig und die Niederlande zogen sich zurück außer aus niederländische Neuguniea, um Ihre Kolonie zu behalten, begünstigten sie die Indonesia. Die Papua Ihrerseits hofften auf Unabhängigkeit. Der Indonesische Präsident Sukarno jedoch wollte ein Indonesien von Sabang bis Merauke. Ende 1961 kam es zu einem kurzen bewaffneten Konflikt. Die Indonesien unterstützenden USA zwangen die Niederlande bei der UNO ein Abkommen zu unterzeichnen. Indonesien übernahm ohne die Papua zu Fragen 1963 das Gebiet und entsandte Beamte und Soldaten. Bei der nun folgenden brutalen Gleichschaltung starben 30.000 Menschen zwischen 1963 und 69. 100.000 Papua flohen ins benachbarte Papua Neuguniea. Dadurch bekam die Unabhängigkeitsbewegung Organisation für einen freien Papua Zulauf. 1969 wurde die im New Yorker Abkommen festgelegte Volksabstimmung durchgeführt. Aber auf Druck Indonesiens bestätigten die Stammführer den Status quo. Die Indonesische Herrschaft war völkerrechtlich besiegelt.  Indonesien begann das neue erworbene Gebiet umgehend wirtschaftlich auszubeuten. Die riesige Grasberg Mine, das größte Goldbergwerk und das drittgrößte Kupferbergwerk der Welt wird in einer sehr großen Höhe von US Unternehmen Freeport Mcmoran seit 1967 betrieben. 2015 war Freeport mit über 33.000 beschäftigten und zuliefern der größte Arbeitgeber der Region sowie der größte Steuerzahler des Indonesischen Staates. Der schließt dafür die Augen vor der Einleitung vor der Einleitung von giftigem Abraum in Flüsse und Böden der Zerstörung der biologischen Vielfalt im Lorenz Nationalpark dem zweitengrößten Asiens und der grassierende Wald rund um die Bergbaustadt Timika. Weiter westlich beutet BP ein offshore Erdgasvorkommen aus. Im gebiet in Merauke verwandelt ein Multinationaler Konzern seit 2010 eine Million Hektar Wald in Anbauflächen für Ölpalmen, Sojabohnen und Zuckerrohr. Die lokale Bevölkerung wird vertrieben. Seit 1980 wurde bereits ¼ des Gebiets entwaldet und mehr als die Hälfte befindet sich in einer kritischen Umweltsituation. So dann führte die Indonesische Regierung eine offensive Bevölkerungspolitik durch die sog. Transmigrasi. 1960 machten die Papua 95 % der lokalen Bevölkerung aus. Inzwischen sind sie nur noch 69 % und sogar nur noch 49 % in der Provinz West Papua. Zwischen 1970 und 2010 hatte man etwa 750.000 Menschen von den bevölkerungsreichsten Inseln wie Java, Sulawesi und den Molukken in die Küsten der Region umgesiedelt, um diese ins indonesische Staatsgebiet einzubinden. 2015 beendete Präsiden Widodo zwar diese Politik aber die individuelle Migration geht weiter. Die Mehrheit bilden die Papua nur noch in den Bergregionen im Zentrum. In den reicheren Großstädten auch in der Hauptstadt Jayapura, in denen es mehr Arbeit gibt, sind die meisten die Muslimischen Javaner in der Mehrheit. Die Papua wurden zunehmend wirtschaftlich und sozial ausgegrenzt. Zwischen 2010 und 2015 betrug des Wirtschaftswachstumes in der Region mehr als 4% das Bruttoinlandsprodukt pro Einwohner ist höher als im Landesdurchschnitt vor in der Provinz West Papua. Allerdings kommt das kaum den Papua zu gute. 28% leben unterhalb der Armutsgrenze. Im Landesdurchschnitt sind das 11 %. 46 % haben keinen elektrischen Strom gegenüber 2 % im Landesdurchschnitt. Der Index der menschlichen Entwicklung ist einer der niedrigsten des ganzen Landes. Im Regierungsbezirk Nduga ist sogar eine der niedrigsten der Welt. Schließlich ist die indonesische Politik gegenüber den Papua eine Mischung aus Unterdrückung wie in Osttimor und Aceh. Zwei weiteren separatistischen Gebieten missbrauchten die Arme die Spezialeinheit Kopassus ihren Auftrag der Aufstandsbekämpfung und es kann regelmäßig zu Massakern, Entführungen und Folter. Seit 1962 kamen 100.000 Menschen ums Leben. Allerdings verübt auch die OPM Anschläge aber in geringerem Ausmaß. 2013 kostete in Puncak Jaya der tödliche Anschlag seit 15 Jahren acht indonesische Soldaten das Leben. Die Arme kontrolliert als stark im Staate große Teile des Holzeinschlags, nimm am Drogenhandel teil, beschützt Privat Unternehmen wie Freeport und geriert sich als Verteidiger der indonesischen Minderheit. Trotzdem werden die Kopassus Einheiten von der US-Armee unterstützt. Wegen des gemeinsamen Kampfes gegen den Terrorismus und Laut Gesetz gelten die Separatisten als Terroristen. Indonesien fördert aber auch die Einbeziehung mancher Papua. Zwischen 2000 und 2008 stiegen die Subvention für die beiden Provinzen um 600 %. Innerhalb von Zehn Jahren stieg die Zahl der Bezirke von 9 auf 38, die der Beamten auf 130.000. die Bürokratie begünstigt Korruption Rivalität unter dem Papua, die Separatisten nur schwer widerstehen können.

Wie sieht die Zukunft aus?

2014 schlossen die meisten Separatisten der vereinigten Befreiungsbewegung für West Papua in Vanuatu an, einem Seit 1980 unabhängigen Staat, der ihre Förderungen unterstützt, genauso wie die Salomonen. 2016 starteten Papua im Exil rund um Benny Wenda die Kampagne Free West Papua. Sie prangerten schleichenden Völkermord durch Umsiedlungen und die Beschlagnahme von Land an und förderten ein von UNO überwachten Referendum. Im März 2017 trug Vanuatu die Misshandlungen durch indonesischen Armee vor den UN Menschenrechtsrat. Aber West Papua ist nicht Ost-Timor, das 2002 unabhängig wurde. Die UNO betrachtet West Neu Guinea nicht als Besetzt.   Die OMP, die größte bewaffnete Gruppe ist schwach und hat weniger 1000 Kämpfer, schätzt man in Jakarta und die Großmächte vor allem die USA schon in Indonesien einen wichtigen wirtschaftlichen und militärischen Partner. So werden die Papua also eher in den Rest des Landes integriert.   70 Prozent der Papua leben weiterhin in den Armeen und ländlichen Bergregionen. Aber Ihre Zahl nimmt ab. Viele wandern in die Küstenstädte ab, die in die Javanische Kultur integriert, sind gleiche Kleidung, gleiche Medien und die Gleiche Ernährung wie im Rest des Landes. Zwischen Mimika dem reichsten Bezirk an der Küste und Puncak Jaya dem ärmsten Bezirk im Zentrum mit trägt das Wohlstandgefälle 1 zu 28. Der Anpassungsdruck wird durch eine neue Pro indonesischen Führungseliten bei den Papua noch verstärkt. Und er hat folgen; 40 % der Einwohner der Region sprechen inzwischen indonesisch die Sprache der Wirtschaft. Auch der islamische Glaube der Einwanderer verbreitet sich immer mehr. Ihm gehören bereits 38 % der gläubigen in der Provinz West Papua und 16 % in Provinz west Papua an. Und das führt zu Spannungen den christlichen Papua.
Diesem Dilemma sieht sich Western China also ausgesetzt, dass ihnen gelingt seine Unabhängigkeit zu erlangen wie das benachbarte Papua Neu Guinea ist alles andere als sicher. Statt einer unerreichbaren Unabhängigkeit sollte das Ziel eher eine Normalisierung der Lage in West Neuguinea sein. Denn nur so könnten danach seine Einwohner, ob Papua oder nicht, endlich in einem Rechtsstaat leben.

Mehr zum heutigen Thema erfahren Sie L’Indonesie de la Prehlstoire a la presidence de Jokowi von Alain Requier beim Verlag Lammtan von September 2017, das such ausführlichen beruhende Buch bietet in französischer Sprache einen umfassenden Überblick über den Inselstaat der so groß ist wie Europa.
Damit endet unsere Sendung, die eine Woche lang auf arte.tv abrufbar ist. Wir sehen uns nächste Woche wieder am gleichen Ort und gleichen Zeit alles gut.

Quelle : https://www.youtube.com/watch?v=22OSp68r-gU


    
 
 
Support : SAVE THE ENVIROMENT OF WEST PAPUA | INFO PAPUA | KNPB NEWS
Copyright © 2011. PAPUA TO OUR WORLD - All Rights Reserved
Template Created by Mr.YOGIX FWP Published by AGUSTINUS GIYAI
Proudly powered by Blogger